#CERPENSAYA Part 1: "Kunang-Kunang Dalam Stoples".
Kunang-Kunang Dalam Stoples
Langkahku lunglai, ketukan sepatu lusuhku terdengar begitu nyaring di
koridor sekolah. Pagi ini, aku harus pergi ke perpustakaan
dan menghabiskan waktu hingga bel masuk berbunyi. Itulah salah
satu aktivitasku selama bersekolah
di sini.
Dan masih banyak lagi aktivitas yang menjadi rutinitas
sehari-hariku.
Kubuka pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca itu, hawa dingin langsung
menerpa kulit dan membuatku merinding seketika. Dan, ini yang aku suka, wangi perpustakaan. Sewangi
apapun aroma masakan, tetap aroma buku-buku ini yang terbaik bagiku.
Setelah mengucap salam pada penjaga, aku melangkah masuk menuju sebuah rak yang
menghadap ke Timur, di atas rak terdapat tanda
bertuliskan 'Buku Pelajaran'
berwarna biru. Kuambil salah satu buku, lalu mulai membacanya setelah aku
memilih salah satu tempat duduk di dekat situ.
Aku memang tengah duduk di kelas delapan semester awal, namun buku-buku
kakak kelas seolah memanggilku untuk kubaca. Aku tertarik dengan buku yang
tengah kupegang ini, salah satu buku yang seharusnya ada di tas seorang anak
SMA.
Memang,
aku tak mengerti pasti apa itu logaritma, integral, juga trigonometri. Tapi, berkenalan lebih dulu dengan
mereka tak masalah, kan? Agar nantinya kami bisa bersahabat saat siswa lain
menjadikan tiga materi itu sebagai musuh. Setelah beberapa lama
aku berkutat dengan soal-soalnya,
bel masuk
berbunyi. Segera aku mengembalikan buku itu, lalu pergi ke kelas
setelah berpamitan dengan penjaga perpustakaan.
“Rumusnya kamu telen bulet-bulet, ya?” tanya salah satu temanku, Sandra,
setelah aku sampai di bangku barisan paling belakang kelas. Di
tangannya, terdapat buku tulis matematika milikku. Dia meminjamnya tadi pagi.
Gadis inilah yang selalu
memberiku ceramah. Katanya, aku anak yang terlalu kutu buku. Padahal
tak sebenar itu, aku hanya belajar sesuai porsi yang kumampu. Tidak kupaksakan
jika memang aku tidak bisa memahami setelah kucoba berulang kali.
Aku tersenyum
menanggapi Sandra. “Kalau kotak-kotak nanti nyangkut,
San,” jawab
Dito, teman
sebangku sekaligus sahabatku. Laki-laki berambut ikal inilah yang sering
mengajakku bermain bola setiap pulang sekolah.
“Ya gak gitu juga, Dito! Kalau aku nih ya, tiap dikasih materi selalu aku kunyah
dulu. Makanya nyambungnya agak lama. Kalau si Rangga enggak, sekali telen pasti langsung nyambung.
Terlalu pintar itu gak baik tau!” kata
Sandra mulai berceramah.
Aku menggelengkan
kepala dan menggerakkan kata tidak dengan tanganku. Saat aku ingin menyanggah
kalimatnya, guru telah datang. Aku
langsung menegakkan badanku dan memberi salam. Hal itu membuat Sandra seketika bangkit dan berlari
terbirit ke bangkunya. Kemudian diikuti
oleh suara teman-teman yang menirukan kalimat salamku tadi.
“Waalaikumussalaam.”
“Rangga...” Suara guru itu memanggilku, segera aku
menyahut dan berdiri dari
dudukku.
Bu Eka tersenyum. “Selamat, kamu lolos ke final OSN Matematika,” katanya sambil meletakkan buku-buku di tangannya ke meja. Aku pun tersenyum
senang. Sedang yang lain juga terperangah dan langsung memberiku ucapan
selamat. “Persiapkan dirimu, finalnya di Palembang dua minggu lagi.”
Dalam hati, aku sangat senang. Berkali-kali mengucap rasa syukur serta
berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengabulkan doa di setiap
salatku. Bu Eka senang, teman-teman senang. Aku pun begitu.
Kurasa inilah hari terbaikku.
Sepulang sekolah, aku berniat menemui kedua orangtuaku untuk memberi tahu
berita ini. Aku tak sabar bagaimana reaksi mereka nanti saat aku mengatakannya.
Ketika sampai di
parkiran, aku mengambil sepeda kayuhku dan mulai menaikinya. Kemudian, Dito
datang. Seperti biasa, dia memintaku untuk bermain bola bersama.
“Maaf, Dito. Aku ingin
mengunjungi orang tuaku hari ini.”
“Oh begitu…. Hati-hati,
ya. Aku titip salam untuk mereka!”
Kuacungkan ibu jariku
dan kembali menjalankan sepeda. Namun belum lama aku mengayuh, kakiku terasa
pegal. Sepeda ini terasa lebih berat kali ini. Roda depan terlihat baik-baik
saja. Tandanya roda belakang yang mungkin kempis. Kuputuskan untuk menepi sejenak
untuk melihat. Ternyata benar, ban sepedaku bocor sebab terkena paku. Jika
sekarang aku menambalnya, uang sakuku tak akan cukup. Sedangkan aku perlu menabung
untuk membeli buku latihan soal terbaru. Akhirnya kuputuskan untuk menuntun saja
sepedaku.
Kusandarkan sepedaku itu pada sebuah tembok bersampul semen. Sampai
jugalah aku di rumah Ayah dan Bunda. Kakiku menyusuri jalan setapak, berhati-hati dalam berjalan agar tak tersandung batu.
Saat aku telah menemukan di mana orangtuaku, aku segera menemui
mereka dan memberi salam. “Assalamualaikum, Ayah... Assalamualaikum Bunda...”
Hening, hanya kicauan burung yang terdengar seolah menjawab salamku tadi.
Aku duduk menyila di tengah antara ayah dan bunda. “Ayah, aku sudah menepati
janjiku. Aku sudah bekerja keras, Ayah. Ayah tahu? Aku berhasil menjadi finalis
OSN tingkat Nasional, Yah... Itu yang aku janjikan bukan?”
Hening lagi, Ayah tak menjawab apa pun. Kuserongkan arah dudukku ke Bunda.
“Bunda, aku juga menepati janjiku ke Bunda. Aku selalu giat belajar. Aku tidak
meninggalkan salat, juga tidak meremehkan waktu. Tuhan memberiku kemudahan
sekarang, Bunda...”
“Oh ya, pulang
sekolah tadi, aku harus menuntun sepedaku, Bunda. Ban sepedaku tiba-tiba bocor.
Dan hari
ini, aku lebih menginginkan buku latihan. Akhirnya, kudorong saja sepedaku itu.
Jadi aku sangat lelah sekarang. Tidakkah Bunda ingin membuatkan
aku es sirup seperti dulu?”
Hening lagi dan lagi. Mataku telah berat menahan beban. Aku seorang
laki-laki, aku tidak boleh menangis hanya karena diacuhkan oleh Ayah dan Bunda.
Namun yang terjadi, justru aku malah terisak. Bagaimana pun, aku hanya seorang
putra berumur 12 tahun. Aku masih ingin menerima kasih sayang dari kedua orangtuaku. Namun
Tuhan telah membedakan garis takdirku dengan garis takdir teman-temanku. Aku
harus hidup mandiri sebelum umurku belum cukup untuk menanggung hidup.
Tuhan mengambil mereka berdua, di saat yang bersamaan. Membuat aku
harus rela tak memiliki orangtua di saat yang bersamaan pula. Semua janjiku,
nasihat Ayah Bunda telah menjadi tabunganku. Yang harus aku simpan untuk aku
ambil hasilnya kelak.
Dulu, aku mengakui, jika aku adalah seorang anak yang nakal. Sangat nakal sehingga aku pernah dihukum Bunda mengerjakan seratus soal jenis operasi
hitung. Saat itu aku masih kelas satu,
aku membuat kotor mobil tetangga dengan memolesinya lumpur lapangan ketika
hujan.
“Bunda, Kenapa soalnya sangat
banyak?”
“Itu adalah hukuman dari semua
kesalahan yang kamu lakukan. Satu kesalahan, sepuluh soal.”
Aku segera mengelak perkataan
Bunda. “Hari ini Rangga
cuma melakukan satu kesalahan. Kenapa aku dapat seratus soal?”
Bunda tersenyum, sambil melihat
kertas hasil pekerjaanku.
“Bunda tanya,” kata Bunda sambil mendekatkan diri.
“Rangga tahu umur Rangga berapa?”
“Enam tahun,” jawabku polos.
“Anak-anak seusia kamu itu
biasanya hanya bisa penjumlahan puluhan Rangga. Tapi kamu, kamu bisa mengerjakan soal-soal yang angkanya ratusan
bahkan
ribuan.”
Aku hanya mengangguk. “Rangga nggak ngerti, Bunda,” balasku akhirnya.
“Begini,” Bunda berdiri, lalu
pergi ke belakang rumah. Aku juga mengikuti. Bunda menuntunku
untuk duduk di bangku rapuh dekat tembok tetangga. “Kamu
lihat ini,” Bunda menunjukkan benda yang dipegangnya padaku.
Aku tak tahu binatang apa yang
ada dalam stoples bertutupkan plastik berlubang itu. Yang aku lihat, binatang
itu kecil, bersinar, dan berterbangan di dalam stoples itu. “Laba-labanya makan
lampu ya, Bun?” tanyaku asal. Bunda tertawa, membuat aku juga tertawa. Selalu
begini. Jika Bunda tertawa, aku pun tertawa. Jika Bunda menangis, aku pun
menangis. Seakan aku adalah bayangan Bunda pada cermin.
“Ini adalah kunang-kunang. Dia
binatang yang bisa mengeluarkan cahaya.”
“Oh,” jawabku sambil mengangguk.
“Kamu itu seperti kunang-kunang
ini.” Bunda memberikan stoples itu padaku. Kuangkat benda itu seraya mengamati
kunang-kunang yang berterbangan di
dalamnya. Aku ingin tahu, mengapa Bunda menyamakanku dengan kunang-kunang
ini?
Apa karena aku terlalu pendek dan kecil?
“Apa yang sama, Bun?”
“Kunang-kunang itu bersinar.
Namun dia terkurung di dalam stoples itu. Dia tak bisa menunjukkan keindahan
sinarnya kepada orang banyak karena dia terkurung,” Bunda mengambil stoples yang
kupegang. Ia melepas karet yang membantu plastik menutup stoples sehingga benda itu terbuka. Hewan itu keluar, lalu terbang ke luar hingga cahaya indahnya makin jelas kulihat. Sejenak
mengelilingiku, lalu pergi hingga cahaya yang indah itu hilang ditelan jarak. Aku tak mengejar, sebab aku tak tertarik pada hewan yang Bunda bilang sama dengan diriku.
“Sekarang, orang lain bisa
melihat keindahan kunang-kunang itu. Sama seperti kamu. Kamu pintar, Rangga. Tapi kamu kenakalan kamu lebih
menonjol,” kata
Bunda mengapit hidungku dengan kedua jarinya. “Tidak selamanya Bunda akan mendampingi
kamu seperti sekarang. Jadi, suatu hari nanti, kamu yang harus pandai mengontrol
diri. Ingat baik-baik,
Rangga, tunjukkan bakatmu. Mengerti?”
Dulu aku tak paham apa maksud Bunda. Tapi sekarang, aku mulai mengerti. Sangat mengerti. Jadi, ketika Ayah dan
Bunda meninggalkanku untuk waktu yang sangat lama, aku mulai berusaha keras.
Aku tak terus terpuruk dalam kesedihan karena mendapat status yatim dan piatu
sekaligus dalam satu waktu. Aku telah merelakan kepergian mereka, karena ikhlas
adalah kunci bahagia. Mulai saat itu, aku belajar segiat mungkin untuk
membuktikan pada Bunda, bahwa putranya sudah bukan seorang anak kecil yang
nakal lagi. Melainkan seorang siswa yang berprestasi.
Tunjukkan
kelebihanmu, Teman. Setap orang memiliki bakatnya masing-masing. Dan, tidak ada bakat yang terbuang di dunia ini asal kita mau
mempertahankan dan mengembangkannya. Contohnya aku, yang walaupun tak memiliki orangtua, tak
memiliki penyemangat utama, aku
tetap mempertahankan bakatku. Agar bakatku tak terbuang. Aku berusaha keras
untuk hidup, terus berdoa serta berbakti pada orangtua meski mereka telah bahagia di sisi Pencipta.
Komentar
Posting Komentar