#CERPENSAYA Part 2: "Guru Terhebat Nia".







Guru Terhebat Nia

Hari berjalan seperti biasa. Nia yang bangun tidur, mandi, lalu berangkat ke sekolah tanpa sarapan dengan sepedanya. Tidak peduli ini sudah pukul berapa, Nia masuk melewati gerbang tanpa ragu. Usai memarkir sepeda sembarangan, ia melangkah masuk melalui lobi depan. Persetan dengan wajah-wajah yang Nia lewati begitu saja tanpa sapaan. Melihat tampilan Nia dengan begitu teliti sampai-sampai mata mereka seolah keluar. Kalau Nia sedang ingin, Nia akan menatap mereka sama tajamnya. Biasanya, mereka yang kalah. Meninggalkannya terlebih dahulu takut akan terlibat pertengkaran dengannya.

Seperti agenda rutin di sekolahnya, Nia diberhentikan di lapangan. Menjadikannya harus berdiri di bawah terik matahari yang mulai meninggi. Pak Hasan membenahi kacamata. Nia mulai bosan, ia lebih memperhatikan kuku-kuku berwarnanya daripada satpam umur 50-an yang mulai berdecak panjang. “Eh, eh, eh… Jam berapa ini, Nia?”

“Jam delapan, Pak. Bapak punya jam.” Nia melirik jam tangan silver yang melingkari pergelangan tangan berisi itu. Jawaban Nia ini tak ada unsur takut sama sekali. Seperti biasa.

“Ketiduran? Atau nggak ingat kalau kamu masih sekolah? Ikut saya ke BK!” ujarnya.

“Saya memang mau ke BK kok, Pak.” Nia menjawab, melangkah mengikuti Pak Hasan.

“Kamu harus punya sekolah sendiri biar bisa telat sesuka kamu, Nia. Haduh, Ibu sampai bosan menghadapi kamu setiap hari!” Adalah sambutan pertama ketika Nia merasakan kulitnya terpapar suhu AC ruang BK. “Pak Hasan kembali saja. Ini biar saya yang urus. Nia, sini!” Usai terdengar suara pintu yang ditutup, guru berhijab itu berdiri mengahampiri. “Ketiduran, macet, air PDAM mati, seragam belum siap, kali ini apalagi alasan kamu telat?”

“Ketiduran, Ibu. Nggak ada yang bangunin saya di rumah.” Jawab Nia. “Itu karena kamu makin susah diatur, orang tua kamu bahkan udah capek lho ngurus kamu itu. Apalagi guru-guru di sekolah?”

Nia mengiyakan. Hanya mengangguk-angguk seperti biasa ketika dinasihati seperti ini. Meskipun Nia murid yang tidak patuh, tidak seharusnya ia melawan Bu Tiara. “Kamu tahu kalau telat tiga kali, artinya satu hitungan alpha. Dan kamu sekarang punya lebih dari tujuh alpha, Nia. Kamu kira sekolah akan membiarkanmu naik kelas? Ibu bingung harus apain kamu kalau begini terus. Surat Panggilan Orangtua nggak pernah disampaikan. Mendatangi rumah kamu juga selalu saja ada saja alasannya. Yang orang tua lagi kerja, lagi ke luar kota, lagi ke pasar tapi nggak pulang-pulang setelah dua jam.”

“Ibu bisa hukum saya seperti biasa.” Kali ini Bu Tiara menggeleng. “Poin kamu sudah lebih dari 80, Nia. Seharusnya kamu di-skors lagi kalau begini caramu.”

“Kalau memang hukumannya begitu mana bisa Nia melawan, Bu?” Guru BK itu menghela napas panjang. Mungkin lelah menghadapi Nia yang tak habis-habisnya membuat masalah. “Kembali ke kelas. Istirahat nanti, temui saya lagi.”

Rasanya Nia tak mendengar apa-apa ketika sampai di kelas dan menyalami Bu Lisa, wali kelas Nia. Bisik-bisik teman sekelas tak menjadikan derap langkah Nia terhenti sebelum sampai di bangkunya. Bu Lisa menghela napas. Kelakuan Nia makin hari semakin membuat guru-guru hipertensi. “Kenapa terlambat lagi kamu, Nia?”

“KETIDURAN, BU!” Bukan Nia yang menjawabnya. Melainkan semua teman sekelasnya. Nia tak peduli lagi, ia membuka tas dan mengeluarkan buku pelajaran. Meski Nia murid yang tidak patuh, bukan berarti ia bisa tak acuh pada tujuannya bersekolah. Hanya saja, caranya bersekolah saja yang berbeda. Bu Lisa pasrah terhadapnya dan kembali melanjutkan pelajaran yang sempat terhenti beberapa menit lalu.

Istirahat tiba. Sesuai perintah Bu Tiara pagi tadi, Nia harus kembali lagi ke ruang kubus ber-AC itu. Kali ini, ada empat guru yang harus ia hadapi. Bu Tiara selaku guru BK, Bu Lisa selaku wali kelasnya, Pak Beni selaku guru Tata Tertib, dan Pak Herman selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. “Nia Calista?” tanya Pak Herman. Nia mengangguk. Tak ada rasa gentar sama sekali di wajahnya. “Kamu duduk di situ.”

Ini rasanya seperti disidang. Nia harus duduk di tengah-tengah hakim, jaksa, pengacara, dan penasihat. “Kamu sepertinya harus dihukum lebih dari membersihkan GOR, Nia. Tadi kami sudah berdiskusi. Cukup panjang. Dan hasilnya, kamu harus menjalani masa percobaan. Tidak lama, hanya seminggu.”

“Masa percobaan bagaimana?”

“Satu, kamu harus menjaga sikap kamu selama satu minggu ke depan. Saya akui kamu memang tidak pernah melawan guru. Dua, nilai kamu tidak boleh di bawah KKM. Dan yang ini, Ibu akui nilaimu memang tak pernah di bawahnya. Dan ketiga, kamu tidak boleh telat lagi. Satu hari saja kamu telat dalam seminggu ke depan, maaf, Nia. Kamu harus di-drop out.”
 
Nia tak terkejut. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban non-verbal.

Bel pulang berbunyi. Nia yang pulang paling akhir. Ia bertemu dengan Pak Herman di lorong kelas. Pak Herman melihatnya lalu menghampiri Nia. “Ingat ya, Nia, satu hari saja kamu telat, kamu akan dikeluarkan. Gunakan kesempatan ini. Kamu sangat beruntung memiliki wali kelas seperti Bu Lisa. Sebenarnya, keputusan ini disarankan oleh Bu Lisa. Dia tidak terima kamu di-skors lagi. Sudah, kamu segera pulang. Siapkan yang dibutuhkan esok hari.”

“Iya, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan saya.”

Saat sudah tiba di gerbang, Bu Lisa memanggilnya. Nia berhenti, menyanggah sepeda dengan satu kaki. Bu Nia berlari kecil menghampirinya. “Bawa ini. Jangan dimatikan. Ibu sudah setel alarm. Jangan coba-coba buat membobol password-nya juga. Jam setengah tujuh, Ibu nggak mau tahu kamu harus sudah ada di sini.”

“Iya, Bu.”

Namun nyatanya, ketika alarm itu berbunyi dengan sangat keras tepat pukul lima esok harinya, Nia bangun sejenak. Melihat kesibukan orangtuanya dari celah pintu kamar. Semenit kemudian, terdengar suara pintu utama ditutup. Tandanya, mereka sudah pergi lagi. Tanpa tahu Nia sudah bangun atau tidak untuk bersekolah. Nia memilih untuk tidur lagi.

“NIA!”  Nia terlonjak bangun. Melihat jam dinding. Pukul enam lebih lima belas. Pintu kamarnya dibuka tiba-tiba. Hal itu membuat Nia membelalak kaget. “Bu Lisa?!”

“Tuh kan, perasaan Ibu sudah nggak enak karena kamu nggak ngangkat telepon Ibu. Cepat mandi, siap-siap! Kamu lupa kalau kamu dalam masa percobaan? Ayo cepat!” Bu Lisa menarik selimut Nia. Lalu mendorong Nia masuk ke kamar mandi. “SEPULUH MENIT SELESAI! DAN TAS SEKOLAH KAMU SUDAH SIAP BELUM?”

“Sudah, Bu.” Tentu Nia sudah melaksanakan perintah Pak Herman kemarin. “Ya sudah cepat! Tiga menit lagi kita harus berangkat biar nggak telat!”

Tepat pukul setengah tujuh, mereka berangkat. Nia menyandarkan kepalanya di jok mobil Bu Lisa. Sedangkan Bu Lisa tetap fokus menyetir. “Kenapa Ibu peduli sama saya? Saya lebih ingin di-dropout loh, Bu.”

Bu Lisa menoleh sekilas. “Kamu  murid Ibu, Nia. Sudah tugas Ibu untuk mendidik kamu menjadi lebih baik. Kalau kamu tidak patuh, suka telat dan bikin masalah, bukan ber-arti Ibu harus menyerah dan angkat tangan terhadap kamu. Jika Ibu begitu, artinya Ibu tidak bertanggung jawab. Ibu nggak siap harus melihat kamu kehilangan masa depan karena Ibu nggak bertanggung jawab dalam mendidik kamu.”

“Tapi Nia sudah membuat Bu Lisa susah, Bu.” Nia menunduk. “Maka dari itu, Nia. Jangan buat kesusahan Ibu ini jadi sia-sia. Walaupun sebenarnya Ibu nggak kesusahan. Tapi kamu cukup buktikan bahwa kamu tidak mengecewakan.”

Hari pertama berjalan lancar. Nia dan Bu Lisa tiba di sekolah sebelum pukul tujuh. Meskipun Nia tak mengharapkan ini, namun Nia sangat berterima kasih pada Bu Lisa. “Segera ke kelas. Belajar yang sungguh-sungguh.”

Ketika bel pulang berbunyi, Nia ingat ia tak membawa sepedanya pagi ini. Jadi ia putuskan untuk memesan ojek online. Saat ojek itu datang dan Nia hampir beranjak, Bu Lisa memanggilnya. Jadi Nia turun dan membuka helmnya. “Ada apa, Bu?” Bu Lisa mengeluar-kan uang, membayar ongkos ojek itu. “Nia ada kok, Bu.”

“Ibu antar.” Nia tak menolak kebaikan yang lagi-lagi dilakukan Bu Lisa atas nama tanggung jawab. Sampai di rumah, terlihat mobil Mama Nia di halaman. Itu artinya, ada Mama di dalam. Usai mengucap terima kasih, Nia turun dari mobil Bu Lisa. Alih-alih masuk ke rumah, Nia malah berjalan melewati rumahnya. Bu Lisa yang melihatnya langsung turun dan menghampiri Nia dengan satu panggilan. “Nia belum mau pulang, Bu,” ujar Nia.

Bu Lisa memegang dahinya. “Kemasi seragam sama buku-buku kamu. Sementara, kamu tinggal di rumah Ibu, ya? Biar Ibu yang minta izin ke Mama kamu.” Mata Nia sontak melebar dan berbinar. “Ibu serius, Bu?!” Tak ada yang bisa Nia ungkapkan lagi ketika Bu Lisa mengangguk. Saking senangnya karena ia bisa pergi dari rumah itu meski sementara.

Malamnya, Nia duduk di teras. Bu Lisa menghampirinya dengan segelas susu. “Terima kasih, Bu Lisa...” Wanita itu mengangguk. Ikut duduk di kursi kosong samping Nia. Menatap malam dengan helaan napas panjang. “Ibu capek ya, ngurus Nia?” Bu Lisa hanya menggeleng. Nia mengangkat kaki ke kursi, menyila di sana. Bu Lisa mengikuti. Mereka tertawa. “Nia ingin punya Mama seperti Bu Lisa. Perhatian. Bisa mengerti Nia.”

“Cara orang tua mendidik itu berbeda-beda, Nia.”

“Yang Nia butuhkan perhatian, Bu. Tapi Nia nggak dapat itu. Setiap hari hanya uang yang diberi Mama. Bertanya saja jarang apalagi memperhatikan Nia. Jadi Nia sengaja telat setiap hari agar bisa dapat SPO dari sekolah. Tapi Mama nggak peduli, malah nyuruh Tante buat datang. Mungkin, kalau Nia di-DO, Mama bisa peduli sama Nia. Paling enggak, Mama bakal tanya, kenapa Nia bisa di-DO.”

“Wow, jadi kamu sudah jadi jagoan, Nia. Berani mengambil risiko untuk mendapatkan apa yang sudah jadi hak kamu. Tapi, Nia, cara setiap orang melaksanakan kewajiban itu berbeda-beda. Kamu sudah SMA, sudah seharusnya kamu bisa berpikir dewasa. Bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Pilihan ada di tangan kamu mau kamu buat seperti apa hidup kamu. Tapi saran Ibu, jangan pilih hal yang berbahaya.”

Nia termenung. Ia menyadari caranya mendapat perhatian dari orang tuanya sangat salah. Ia membahayakan masa depannya sendiri. Seharusnya ia berpikir panjang. "Saya akan memikir kembali masalah ini, Bu."

"Baiklah. Memang sudah seharusnya begitu." Bu Lisa bangkit, mengusap rambut Nia dengan telapak tangan kanannya. "Gunakan waktumu untuk berpikir sematang mungkin. Dan janji sama Ibu, kamu harus bisa pilih keputusan yang terbaik untuk dirimu sendiri."

Seminggu berlalu dengan cepat. 

Dan sekarang, Nia tidak jadi di-dropout dari sekolah. Semua guru menyadari perubahan Nia. Kini Nia selalu datang pagi dengan seragam yang lengkap. Bu Lisa lah yang paling bahagia. Sejak Nia memutuskan untuk kembali ke rumahnya sore itu, Bu Lisa tak perlu merasa khawatir. Meskipun sikap Mama Nia tetap sama, namun Nia mencoba untuk menerima. Karena, ini cara Mama Nia bertanggung jawab atasnya. Setidaknya, Mama masih peduli dengan memastikan kebutuhan hidup Nia terpenuhi. 

“Terima kasih, Bu Lisa.” Bu Lisa hanya bisa mengangguk sambil mengelus pelan pundak Nia. Setidaknya, ia berhasil menyelamatkan masa depan Nia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Itu memang benar. Tapi, sekolah lebih daripada itu. Menurut Nia, sekolah tempat berkumpulnya orang-orang yang hebat. Siswa-siswi yang hebat dengan bakat dan karakter mereka masing-masing. Atau guru-guru hebat dengan bakat mendidik anak muridnya dengan cara mereka sendiri. Di sekolah ini, Nia memiliki seorang guru sekaligus idolanya. Bu Lisa namanya. Dia hebat, kata-katanya selalu luar biasa hingga membuat Nia menjadi bersemangat. Kelak, Nia ingin menjadi guru hebat seperti Bu Lisa!




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

#CERPENSAYA Part 1: "Kunang-Kunang Dalam Stoples".